Wednesday, February 4, 2015
Senjata Khas Batak
Piso Gaja Dompak
Nusantara bertuah. Berbagai jenis senjata pusaka bertuah bertebaran di seantero nusantara. Salah satunya adalah Piso gaja dompak. Piso Gaja Dompak adalah senjata tradisional yang berasal dari Sumatera Utara, yang merupakan senjata khas suku batak yang juga merupakan pusaka kerajaan batak. Keberadaan senjata ini tidak dapat dipisahkan dari perannya dalam perkembangan kerajaan Batak juga kepemimpinan raja-raja dari kerajaan Batak. Piso Gaja Dompak ini hanya digunakan di kalangan raja-raja saja dan merupakan senjata yang istimewa. Mengingat Piso Gaja Dompak merupakan sebuah pusaka kerajaan, maka senjata ini tidak diciptakan untuk membunuh atau melukai orang lain. Sebagai benda pusaka senjata ini dianggap memiliki kekuatan supranatural yang dapat memberikan kekuatan spiritual kepada pemiliknya. Senjata ini juga merupakan benda yang dikultuskan dan kepemilikan senjata ini adalah sebatas keturunan raja-raja
Nama Piso Gaja Dompak diambil dari kata piso yang berarti pisau yang berfungsi untuk memotong atau menusuk, bentuk runcing dan tajam dan gaja dompak yang berarti sebutan bagi ukiran bepernampang gajah pada tangkai senjata tersebut.
Piso Gaja Dompak merupakan senajta khas suku Batak, suku asli yang tinggal di wilayah Sumatera Utara. Nenek moyang suku batak diduga berasal dar Austronesia, namun tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya orang Austronesia pertama kali menduduki Tapanuli. Suku batak sendiri terdiri dari beberapa sub etnis seperti batak karo, batak mandailing, batak simalungun, batak pakpak, batak angkola dan batak toba. Keragaman budaya batak tentu saja tidak dapat dipisahkan dari hegemoni kerajaan batak yang berkuasa di tanah sumatera utara selama berabad-abad.
Hingga kini, memang belum ada catatan sejarah yang menyebutkan kapan tepatnya Piso Gaja Dompak menjadi pusaka bagi kerajaan Batak. Namun berbagai sumber menyatakan bahwa piso raja dompak ini erat kaitannya dengan kepemimpinan Raja Sisingamaraja I. Hal ini berdasarkan kepada kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang berasal dari tradisi lisan yang kemudian dicatat dalam aksara berkisah tentang seorang bernama Bona Ni Onan, yang merupakan putra bungsu dari Raja Sinambela.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa suatu ketika, Bona Ni Onan sewaktu pulang dari perjalanan jauh, mendapati istrinya Boru Borbor sedang hamil tua. Dia pun meragukan kandungan istrinya itu. Sampai pada suatu malam ia bermimpi didatangi Roh yang mengatakan bahwa anak dalam kandungan istrinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak akan menjadi raja yang bergelar Sisingamaraja. Bona Ni Onan kemudian memastikan kebenaran mimpi tersebut kepada istrinya. Istrinya pun bercerita bahwa ketika ia mandi di tombak sulu-sulu (hutan rimba), ia mendengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Setelah itu mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia pun percaya bahwa kala itu ia bertemu dengan roh Batara Guru.
Masa kehamilannya mencapai 19 bulan dan kelahiran anaknya pun disertai badai topan dan gempa bumi dahsyat. Oleh sebab itulah putranya ia beri nama Manghuntal yang berarti gemuruh gempa. Beranjak dewasa Manghuntal mulai menunjukan sifat-sifat ajaib yang memperkuat ramalan bahwa dirinya adalah calon raja.
Di masa remaja Manghuntal pergi menemui Raja Mahasakti yang bernama raja Uti untuk memperoleh pengakuan. Pada saat ia hendak menemui Raja Uti, raja tidak di tempat, lalu dia memutuskan menunggu sambil memakan makanan yang disuguhkan oleh istri raja, ketika itu juga secara tidak sengaja mendapati Raja Uti bersembunyi di atap dengan rupa seperti moncong babi. Raja Uti pun menyapa manghuntal, ia pun menyampaikan maksud kedatangannya menemui raja dan meminta seekor gajah putih. Raja Uti pun bersedia memberi dengan syarat Manghuntal harus membawa pertanda-pertanda dari sekitar wilayah Toba, Manghuntal pun menurut. Setelah itu manghuntal kembali menemui Raja Uti dengan membawa persyaratan dari Raja Uti. Raja Uti kemudian memberikan seekor gajah putih serta dua pusaka kerajaan yaitu Piso Gajah Dompak dan sebuah tombak yang ia namai Hujur Siringis.
Konon, menurut kepercayaan masyarakat, Piso Gaja Dompak tidak dapat dilepaskan dari pembungkusnya kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian, dan Manghuntal bisa membukanya. Setelah itu Manghuntal benar-benar menjadi raja dengan gelar Sisingamaraja I.
Sebagai pusaka yang dihormati, Piso Gaja Dompak ini memuat symbol-simbol yang bermakna filosofis. Bentuk runcing dari senjata ini, dalam bahasa Batak disebut dengan Rantos yang bermakna ketajaman berpikir serta kecerdasan intelektual sebagai ketajaman melihat permasalahan dan peluang juga dalam menarik kesimpulan dan bertindak. Pesan yang terkandung adalah pemimpin Batak harus memiliki ketajaman berpikir dan kecerdasan dalam melihat sebuah persoalan dan juga melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan dan memutuskan suatu tindakan sebagai wujud dari kecerdasan dan ketajaman berpikir dan meihat persoalan. Gaja Dompak sendiri adalah sebutan untuk bentuk ukiran yang berpenampang gajah. Ukiran ini diduga diambil dari mitos memberikan piso gaja dompak dan seekor gajah putih pada Manghuntal atau Sisingamaraja I.
Piso Gaja Dompak adalah lambang kebesaran pemimpin batak, pemimpin batak memiliki kecerdasan intelektual untuk berbuat adil kepada rakyat dan bertanggung jawab pada Tuhan. Wallahu A’lam Bis-Shawab (SD)
Nama Piso Gaja Dompak diambil dari kata piso yang berarti pisau yang berfungsi untuk memotong atau menusuk, bentuk runcing dan tajam dan gaja dompak yang berarti sebutan bagi ukiran bepernampang gajah pada tangkai senjata tersebut.
Piso Gaja Dompak merupakan senajta khas suku Batak, suku asli yang tinggal di wilayah Sumatera Utara. Nenek moyang suku batak diduga berasal dar Austronesia, namun tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya orang Austronesia pertama kali menduduki Tapanuli. Suku batak sendiri terdiri dari beberapa sub etnis seperti batak karo, batak mandailing, batak simalungun, batak pakpak, batak angkola dan batak toba. Keragaman budaya batak tentu saja tidak dapat dipisahkan dari hegemoni kerajaan batak yang berkuasa di tanah sumatera utara selama berabad-abad.
Hingga kini, memang belum ada catatan sejarah yang menyebutkan kapan tepatnya Piso Gaja Dompak menjadi pusaka bagi kerajaan Batak. Namun berbagai sumber menyatakan bahwa piso raja dompak ini erat kaitannya dengan kepemimpinan Raja Sisingamaraja I. Hal ini berdasarkan kepada kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang berasal dari tradisi lisan yang kemudian dicatat dalam aksara berkisah tentang seorang bernama Bona Ni Onan, yang merupakan putra bungsu dari Raja Sinambela.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa suatu ketika, Bona Ni Onan sewaktu pulang dari perjalanan jauh, mendapati istrinya Boru Borbor sedang hamil tua. Dia pun meragukan kandungan istrinya itu. Sampai pada suatu malam ia bermimpi didatangi Roh yang mengatakan bahwa anak dalam kandungan istrinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak akan menjadi raja yang bergelar Sisingamaraja. Bona Ni Onan kemudian memastikan kebenaran mimpi tersebut kepada istrinya. Istrinya pun bercerita bahwa ketika ia mandi di tombak sulu-sulu (hutan rimba), ia mendengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Setelah itu mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia pun percaya bahwa kala itu ia bertemu dengan roh Batara Guru.
Masa kehamilannya mencapai 19 bulan dan kelahiran anaknya pun disertai badai topan dan gempa bumi dahsyat. Oleh sebab itulah putranya ia beri nama Manghuntal yang berarti gemuruh gempa. Beranjak dewasa Manghuntal mulai menunjukan sifat-sifat ajaib yang memperkuat ramalan bahwa dirinya adalah calon raja.
Di masa remaja Manghuntal pergi menemui Raja Mahasakti yang bernama raja Uti untuk memperoleh pengakuan. Pada saat ia hendak menemui Raja Uti, raja tidak di tempat, lalu dia memutuskan menunggu sambil memakan makanan yang disuguhkan oleh istri raja, ketika itu juga secara tidak sengaja mendapati Raja Uti bersembunyi di atap dengan rupa seperti moncong babi. Raja Uti pun menyapa manghuntal, ia pun menyampaikan maksud kedatangannya menemui raja dan meminta seekor gajah putih. Raja Uti pun bersedia memberi dengan syarat Manghuntal harus membawa pertanda-pertanda dari sekitar wilayah Toba, Manghuntal pun menurut. Setelah itu manghuntal kembali menemui Raja Uti dengan membawa persyaratan dari Raja Uti. Raja Uti kemudian memberikan seekor gajah putih serta dua pusaka kerajaan yaitu Piso Gajah Dompak dan sebuah tombak yang ia namai Hujur Siringis.
Konon, menurut kepercayaan masyarakat, Piso Gaja Dompak tidak dapat dilepaskan dari pembungkusnya kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian, dan Manghuntal bisa membukanya. Setelah itu Manghuntal benar-benar menjadi raja dengan gelar Sisingamaraja I.
Sebagai pusaka yang dihormati, Piso Gaja Dompak ini memuat symbol-simbol yang bermakna filosofis. Bentuk runcing dari senjata ini, dalam bahasa Batak disebut dengan Rantos yang bermakna ketajaman berpikir serta kecerdasan intelektual sebagai ketajaman melihat permasalahan dan peluang juga dalam menarik kesimpulan dan bertindak. Pesan yang terkandung adalah pemimpin Batak harus memiliki ketajaman berpikir dan kecerdasan dalam melihat sebuah persoalan dan juga melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan dan memutuskan suatu tindakan sebagai wujud dari kecerdasan dan ketajaman berpikir dan meihat persoalan. Gaja Dompak sendiri adalah sebutan untuk bentuk ukiran yang berpenampang gajah. Ukiran ini diduga diambil dari mitos memberikan piso gaja dompak dan seekor gajah putih pada Manghuntal atau Sisingamaraja I.
Piso Gaja Dompak adalah lambang kebesaran pemimpin batak, pemimpin batak memiliki kecerdasan intelektual untuk berbuat adil kepada rakyat dan bertanggung jawab pada Tuhan. Wallahu A’lam Bis-Shawab (SD)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment